SUMBARBERKABAR.COM – Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) Suwirpen Suib menghadiri malam resepsi hari jadi Sumbar ke-78, Minggu (1/10). Pada kesempatan tersebut Suwirpen mengatakan, Sumbar harus menjadi daerah yang terus melahirkan pemikir-pemikir ulung.
Suwirpen mengatakan, dari sejarahnya masyarakat Minang dikenal dengan tempat lahir pemikir-pemikir ulung. Sebut saja M.Yamin yang gagasannya menjadi pemantik anggota sembilan untuk melahirkan Piagam Jakarta, sehingga menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila pada Juni 1945.
” Ada Mohammad Hatta, wakil presiden pertama yang dikenal sebagai bapak ekonomi Indonesia,” katanya.
Adalagi Datuk Ibrahim Tan Malaka, yang pemikiran progresifnya menjadi pelecut bagi kaum revolusioner Indonesia (bahkan pemikiranya masih hidup dan menjadi bagian kerangka kritis dari sebagaian kaum pergerakan hari ini).
” Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih populer dipanggil Buya Hamka, seorang ulama yang menjadi panutan bagi tokoh-tokoh pendiri bangsa diakhir hidup mereka. Masih ada lagi, Agus Salim yang terkenal dengan keterampilan berdiplomasi dan teknik lobby yang tinggi,” katanya.
Dia mengatakan, ada ungkapan bagi masyarakat Minang yang masih sering disebutkan sampai hari ini yaitu; “Urang Minang tu, Taimpik nak Di ateh, Takuruang nak di lua”. Bila diartikan sepintas, maka sebagian besar orang menyimpulkan arti dari ungkapan tersebut dalam konotasi negatif yaitu “Cadiak Buruak/Caliah” (Licik).
Namun, bila diurut secara terminologi, kata tersebut mengisaratkan masyarakat minang harus berfikir Progresif dan Solutif, penuh makna yang perlu diartikan secara mendalam.
Di Minang sedari kecil sudah diajarkan kato nan ampek, kato nan ampek dimaknai sebagai pengklasifikasian cara berbicara orang Minang yaitu, bagaimana cara berbicara dengan orang lebih tua, cara berbicara dengan orang lebih kecil, cara berbicara dengan orang seumuran dan cara berbicara dengan orang yang disegani.
Namun, budaya tersebut bak seperti Hilang entah kemana. Fenomena masyarakat Minang hari ini, lebih mendahulukan ucapan dari pada berfikir yang kemudian akhirnya berujung pada hujatan.
” Bila ditelusuri, group media sosial masyarakat Minang hari ini, hampir merata hanya berisikan cacian dan makian, dan lebih memprihatinkan lagi, masyarakat mudah termakan provokasi oleh berita-berita hoax,” katanya.
Dia mengatakan, sebagai orang yang hidup dalam masyarakat Minang, saya merasakan bagaimana pentingnya budaya harus dilestarikan. Dengan lestarinya budaya Minang, seperti perhatian yang besar terhadap pendidikan dan sekolah baik formal maupun non formal dan budaya hidup badunsanak, seharusnya dapat menghilangkan sifat caci maki yang marak belakangan ini. (*)